Rabu, 19 Agustus 2009

TIGA ALIRAN KIRI YANG AKAN SELALU ADA


Oleh : Nouval Murzita

Perjuangan untuk sosialisme atau perjuangan yang dipelopori oleh Partai Komunis atau partai revolusioner dengan nama lain bermaksud memperjuangkan sosialisme ilmu, selamanya ada struggle di dalamnya. Internal struggle tidak akan pernah berhenti baik itu dalam melawan penyakit opportunis kanan (reformisme) maupun dalam melawan opportunis kiri (advonturisme), sebab itu adalah perjuangan yang berlangsung selamanya, kapan saja. Mengenai tiga garis itu adalah: satu ke kanan yaitu Sosialis Kanan (SOSKA), satu ke kekiri-kirian (Trotskys) dan satu lagi adalah jalan rakyat yaitu jalan Leninis.

Semakin “belum dewasa-nya” Partai, Kader atau Massa, disitu perjuangan akan menempuh jalan kekiri-kirian atau ke kanan. Yang kekiri-kirian itu Anarkis & Trotskys. Kaum Anarkis & Trotskys adalah saudara sekandung, sedangkan yang menempuh jalan ke kanan adalah Sosialis Kanan menggunakan metode reformisme.

Kaum Anarkis adakalanya seperti juga kaum nihilis. Tanpa arah, tanpa strategi dan tanpa taktik. Kaum Trotskys ada kalanya mengeluarkan teori-teori sosialisme, adakalanya mendirikan partai kelas pekerja dan juga mengandalkan kelas pekerja tetapi mereka ada kalanya melecehkan kaum tani.

Sedikit Penjelasan tentang Trotskysme & Leninisme
Apakah Trotskysme itu? Trotsky & orang-orang yang sepaham dengannya menafsirkan arti DIKTATUR PROLETARIAT itu, sebagai sesuatu kekuasaan yang hanya bisa atau mesti digalang oleh tenaga proletaris melulu. Segala tenaga diluar lingkungan itu, merupakan musuh dari tenaga proletaris.

Apakah anggapan Lenin & Leninisme? Lenin & Leninisme menafsirkan arti DIKTATUR PROLETARIAT, sebagai suatu kekuasaan dari persekutuan kaum proletar dengan kaum tani. Leninisme berpendapat, bahwa kaum tani itu mempunyai kemungkinan-kemungkinan revolusioner, sehingga dapat dijadikan kawan oleh kaum proletar.

Oleh karena itu Leninisme mendasarkan penggalangan kekuatan & kekuasaan DIKTATUR PROLETAR kepada tenaga-tenaga proletaris dan tenaga-tenaga a-proletaris, artinya yang bukan langsung bersifat proletaris.

Diktatur Proletaris adalah suatu macam persekutuan-kelas yang bersifat istimewa, antara kaum proletar sebagai pelopor dari kaum pekerja, dengan lapisan-lapisan kaum pekerja lainnya, yang berkembang-biak itu dan tidak bersifat proletaris (borjuis kecil, pemilik-pemilik kecil, kaum tani dan kaum intelektual) atau dengan golongan yang terbanyak dari mereka itu; ini adalah persekutuan menentang capital, suatu persekutuan yang bermaksud untuk merubuhkan secara penuh terhadap perlawanan borjuis dan terhadap akal muslihat mereka akan berdiri kembali, yaitu persekutuan yang berwujud pada akhirnya menegakkan dan memperkuat sosialisme.

Salah satu bukti penyelewengan Trotsky Cs dapat dilihat ketika mereka menentang habis-habisan pelaksanaan naskah Brest-Litowks, diwaktu perjuangan revolusi proletar di rusia itu menghendaki dan membutuhkan “adempauze”, yaitu disaat timbulnya keharusan membangun ekonomi sendiri, keharusan mengkonsolidir kekuatan & susunan Negara proletar, diwaktu keharusan ini menjadi soal yang hangat sekali. Keharusan membangun sosialisme dan mengkonsolidir negara sosialis diwaktu itu menjadi soal yang terpenting sekali untuk penyelesaian revolusi Rusia.

Peletusan revolusi Indonesia ditahun 1945 membuktikan kebenaran dan kejituan teori, yang diajarkan oleh Lenin, yaitu bahwa dizaman IMPERIALISME sekarang ini, revolusi itu akan meletus, dimana untaian rantai-imperialisme itu paling lemah dan tidak akan otomatis meletus disana, dimana jumlah kaum proletar kebetulan merupakan bahagian yang terbesar, seperti misalnya di Eropa Barat (di Belanda) atau di Amerika, yaitu negeri-negeri kapitalis industry yang terkemuka & termaju. Di tahun 1945, pada penghabisan peperangan dunia ke II ini, ternyata jelas bahwa di Indonesia inilah untaian rantai-imperialisme yang terlemah. Kalau tidak demikian, maka tentulah segala rupa “proklamasi” dan “resolusi” akan tinggal diatas kertas belaka.

Kelemahan untaian rantai-imperialisme di Indonesia ini, adalah suatu syarat dan jaminan yang sebaik-baiknya, untuk meneruskan revolusi tersebut sampai ke akhirnya, artinya sampai kepada revolusi social-proletaris. Kelemahan untaian rantai-imperialisme di Indonesia ini, bukan saja suatu syarat pembuka jalan, bahkan pula suatu syarat penjamin kemenangan sosialisme di Indonesia ini. Sengaja kita katakan disini, penjamin kemenangan sosialis, dan tidak kita batasi dengan perkataan penjaminan kemenangan borjuis kapitalis. Oleh sebab menurut anggapan Leninisme, sekalipun kita di Indonesia, sebagai jajahan dan negeri agraris-feodal, mesti lebih dahulu mengangkat dan meyelenggarakan revolusi borjuis-demokratis, artinya revolusi yang berwujud atau bersifat ANTI IMPERIALIS, akan tetapi ini tidak sekali-kali mesti berarti atau diartikan, bahwa kemenangan-demokratis-borjuis itu dapat terjamin zonder mengadakan jaminan untuk kemenangan sosialis-proletaris.

Tiap-tiap revolusi di zaman imperialisme sekarang ini, mestilah ditujukan kepada revolusi-proletaris.

Apa sebabnya mesti demikian?

Oleh karena imperialisme itu adalah fajar dari revolusi social, kata lenin dalam “kata pengantar” dari bukunya yang berjudul “Imperialisme”. Dengan ini Lenin menerangkan, bahwa di zaman imperialisme itu tidak ada revolusi yang bisa mencapai kemenangan selain revolusi social.

Kaum proletar, kata Lenin lebih lanjut di lain tempat, “harus meneruskan pergolakan demokratis sampai kepada akhirannya, dengan jalan mengikat massa dari kaum tani itu kepada mereka, supaya perlawanan dari pihak absolutism itu dengan kekerasan dapat dihancurkan, dan sifat-sifat sangsi dari kaum borjuis itu dapat dilemahkan. Kaum peroletar harus menyelenggarakan pergolakan sosialis dengan jalan mengikat massa dari elemen-elemen setengah proletaris itu kepada mereka, supaya dengan kekerasan, perlawanan borjuis itu dapat di hancurkan dan sifat-sifat sangsi dari kaum tani dan kaum borjuis kecil itu dapat dilemahkan.

Apakah arti penjelasan Lenin diatas itu?

Penjelasan diatas berarti tidak lain dan tidak bukan, bahwa “Revolusi Nasional” dalam zaman imperialisme sekarang ini terdiri dari dua “fase”, yaitu fase “Borjuis Demokratis” dan fase “Proletaris-Sosialis”. Kedua-dua fase tersebut harus diselenggarakan oleh kaum proletar, artinya oleh politik revolusioner proletaris. Fase pertama tidak akan menghasilkan kemenangan, kalau fase kedua tidak menghasilkan kemenangan artinya kalau fase kedua tidak dilaksanakan. Keterangan ini cukup jelas dan sudah dibuktikan kebenarannya oleh praktek perjuangan di Rusia. Inilah yang dikatakan penglihatan & anggapan Leninisme.

Perbandingan antara naskah Brest Litowks dengan naskah linggarjati:

Secara strategies-militeris dan strategis ekonomis, maka keadaan di Rusia memang sekali memaksa Lenin dan kaum Bolseviks dimasa itu untuk melaksanakan Naskah Brest-Litowks, dengan imperialis Jerman.

Secara politis & moreel, revolusi Rusia terisolir dan berdiri sendiri, sebab belum bisa mendapat tunjangan lekas dari luar. Opportunism social-chauvinis terlalu kuat dan hampir memonopolikan sikap kaum buruh di luar Rusia. Perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan belum memuncak tinggi betul.

Secara strategies-militer dan secara strategies ekonomis, maka keadaan objektif di Indonesia tahun 1945 tidak sedikit juga memaksa kita untuk menerima naskah “linggarjati” dengan imperialis Belanda, yang diwaktu itu tidak sedikit juga mempunyai tenaga dan sedang ngap-ngapan. Secara politis & moril, revolusi Indonesia tidak lagi terisolir dan akan pasti mendapat tunjangan politis dan moril dari luar. Keinsjafan proletar internasional sudah lebih kuat, seperti juga ternyata tindakan buruh di luar negeri di saat revolusi Indonesia kita. Perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan lainnya memuncak keres di benua Asia ini.

Sekarang tentang isi dari kedua naskah tersebut:

Imperialis Jerman, yang ikut tergencet dan digencet oleh imperialis Inggris & Perancis, siap sedia untuk melawan musuh mereka. Naskah Brest-Litowks berarti mengadu dombakan tenaga-tenaga imperialis dilapangan mereka sendiri, serta dengan jalan demikian hakekatnya menetralisir sabagian dari kekuatan musuh, yang hendak menyerbu rakyat Rusia. Imperialis Belanda yang sudah tergencet dan digencet oleh imperialis Inggris & Amerika dan sudah dijadikan antek-antek dari kedua imperialis raksasa tadi, sehingga Belanda tiada sedikit juga ada maksud untuk melawan imperialis anglo-sakson diwaktu pelaksanaan “naskah linggarjati” itu. Oleh karena itu naskah linggarjati tidak dapat dianggap sebagai suatu “siasat” untuk mengadu dombakan tenaga-tenaga imperialis yang akan menekankan revolusi kita kembali. “Naskah linggarjati” tidak bersifat dan tidak mungkin bersifat menetralisir imperialis Belanda atau salah satu bagian dari imperialis dunia, yang sangat ditakuti oleh kaum opportunis itu. Naskah Brest-Litowks mengandung pengakuan kedaulatan rakyat Rusia “de facto” diseluruh daerah Rusia oleh dan dari imperialis Jerman. Naskah Brest-Litowks tidak menghendaki kerugian ini atau kerugian itu dari pihak Rusia, tidak menghendaki hak campur tangan (inmengingsrecht) atas cara-cara pembangunan Negara di Rusia, serta akhirnya tidak menuntut pengembalian harta-milik imperialis ketangan mereka.

“Naskah linggarjati” menghendaki pengakuan kedaulatan Baginda Ratu Wilhelmina di Indonesia ini, dan tidak sekali-kali mau bermaksud hendak mengakui kedaulatan rakyat Indonesia dalam daerah RI. Imperialis Belanda mempertahankan “historische rechten” mereka di Indonesia ini dan memaksa RI via naskah linggarjati agar segala harta kekayaan dan hak milik asing dikembalikan kepada Belanda. Pendek kata: “Naskah Linggarjati” tidak bisa diartikan sebagai suatu muslihat untuk membangun sosialisme dan mengkonsolidir Negara sosoalis. Naskah linggarjati yang mengujudkan pengembalian sumber-sumber dan kunci produksi masyarakat ke tangan musuh, dalam hakekat & akibatnya adalah suatu jaminan, supaya kekuatan kaum imperialis di Indonesia tidak dapat di rubuhkan, dan pembangunan sosialisme tidak dapat di selenggarakan. “Naskah Linggarjati” ini mau tidak mau akan mengacau-balaukan dan mengalutkan ekonomi rakyat Indonesia di belakang hari. “linggarjati” bukan lah suatu kemenangan bagi tenaga revolusi Indonesia, tetapi adalah PENGHINAAN dan PERBUDAKAN bagi rakyat revolusioner Indonesia.

Berikut ini adalah hal-hal yang terkandung dalam politik pengembalian harta milik asing itu:

1. Memperkuat imperialis Belanda kembali di Indonesia

2. Melemparkan kemungkinan untuk memulai pembangunan ekonomi sosialis di negeri sendiri.

3. Menutup kemungkinan-kemungkinan untuk memperbaiki pertanian dan memperbaiki nasib kaum tani.

4. Menyaboteer persekutuan kaum tani & proletar

5. Membuangkan kesempatan untuk mempersediakan “matriele grondslag”, guna menggalang persekutuan kelas” dengan perbuatan yang kongkrit.

6. Melepaskan syarat “hegemonie proletariat” dalam perjuangan anti imperialis di Indonesia.

7. Menghambat timbulnya “Dikatur Proletariat”, yang bisa tumbuh dari “persekutuan kelas” antara kaum proletar & kaum tani itu.

8. Mengisoleer tenaga-tenaga proletar dari kaum pekerja lainnya, dan memaksa kaum tani & kaum borjuis kecil lainnya, meninggalkan front proletar, karena dilihatnya bahwa kaum proletar tidak mempunyai kesanggupan ekonomi & politik untuk menolong mereka.

Dalam pidato Lenin pada waktu kongres ke III “Komintern”, beliau sekali lagi menekankan titik berat dari arti kata “Diktatur Proletar” itu:

“Prinsip yang tertinggi dari diktatur itu (diktatur proletariat) ialah mempertahankan persekutuan kaum proletar dengan kaum tani, supaya kaum proletar dapat memegang rol pemimpin dan kekuasaan Negara”

Pendek kata: “Siasat” mengembalikan harta milik asing itu, terang sekali berdasarkan atas paham Troskysme, yang terpendam. Artinya paham-paham yang dari semula tidak mementingkan dan tidak mau beriktiar melaksanakan penggalangan “persekutuan kelas”, yang begitu diutamakan oleh strategi & taktik Leninisme.

Konflik Laten PKI vs Murba

Antara PKI dengan Murba terdapat konflik yang dalam, bersumber pada pemberontakan tahun 1926-1927. Sewaktu pemberontakan tahun itu PKI mengambil tindakan terhadap Tan Malaka, istilahnya di royer atau dipecat, karena dianggap tidak berdisiplin. Sesudah dikenakan tindakan pendisiplinan pada saat itu Tan Malaka tidak mau menerima malahan iya membentuk partai yang lain yaitu PARI (Partai Republik Indonesia). Sejak itulah terjadi permusuhan antara PKI & PARI.

Sisa-sisa PKI sesudah pemberontakan itu tidak rela & ikhlas menerima berdirinya PARI yang mempersalahkan PKI. Sekiranya Tan Malaka benar-benar komunis tentu yang akan didirikannya ialah PKI dan bukan PARI. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh Tan Malaka, ia telah menunjukkan dia bukan komunis lagi tetapi telah menjadi nasionalis.

Pemberontakan itu benar merupakan kesalahan jika ditilik dari teori. Didalam sejarah PKUS ada juga dikemukakan tentang kesalahan teori yang menjadi dasar dari kesalahan putusan tahun 1926 itu yang melahirkan pemberontakan prambanan itu. Itu memang kesalahan yang diulas juga, dan dari situ menjadi jelas bahwa waktu itu PKI belum menguasai teori. Sebab istilah “pemberontakan” sebenarnya tidak ada di dalam kamus Partai Komunis, Yang ada itu istilah “revolusi” dan revolusi itu tidak bisa di komando. Tidak bisa karena putusan dari atas.

Revolusi itu ada syarat-syaratnya. Yaitu situasi objektif memang sudah harus melahirkan revolusi atau dengan kata lain revolusi cukup matang berdasarkan syarat-syarat objektif yang kongkrit & tertentu.

Lalu peranan subjektif partai terhadap gerakan rakyat ini memang sudah memenuhi, artinya ada kesanggupan dan kemampuan untuk memipin revolusi itu. Jadi tidak mesti karena putusan Partai. Tapi memang pada waktu itu diputuskan untuk melakukan pemberontakan. Itu sudah terang salah. Setahun sesudah pemberontakan tahun 1926-927 mengalami kegagalan, maka komintern melalui La Correspondence Internationale, tertanggal 23 november 1927, mengemukakan bahwa tidak berhasilnya pemberontakan itu disebabkan:

1. Buruknya persiapan politik & organisasinya serta tidak menghubungkannya dengan semboyan-semboyan dan tujuan-tujuan yang bersifat politik & ekonomi yang nyata atau dengan kata lain programnya tidak kongkrit. Belum adanya politik & program yang jelas bagi kaum tani dalam melawan feodalisme.

2. Pemberontakan tani tersebut tidak dikombinasikan dengan perjuangan kaum buruh. Pemberontakan tidak terkordinasi secara baik antara pemberontakan di kota dan desa. Sebagian besar kaum buruh ada di kota, karena akibat rusaknya organisasi karena pukulan pemerintah Belanda pada akhir tahun 1925 belum terkonsolidasi dengan baik yang berikutnya belum dapat dikerahkan secara maksimal untuk ikut serta dalam pemberontakan (tidak adanya pemberontakan di kota semarang yang merupakan basis terkuat dari VSTP).

3. Belum mampu membuat front persatuan perjuangan nasional sehingga ketika pemberontakan dimulai tidak memikirkan lagi apa yang harus terjadi sesudah itu.

4. Kekurangan dalam taktik pemusatan kekuatan yang besar untuk memukul kekuatan musuh yang pokok, yang terisolasi. Kekuatan kaum pemberontak terlampau dipencar-pencarkan dan memukul kekuatan musuh yang kadang-kadang bukan pokok, bahkan disana-sini sifatnya perseorangan.

Pemberontakan Rakyat 1926 yang dipimpin oleh proletariat, adalah pemberontakan yang pertama, suatu pemberontakan setelah ada nasion dan yang didukung oleh banyak suku bangsa dari dua pulau besar yang terpenting, yaitu Jawa & Sumatera. Ia tidak saja menggoncangkan sendi-sendi kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia, tetapi juga memberikan sumbangan yang penting bagi perjuangan Rakyat pekerja sedunia melawan imperialism.

Setelah kegagalan pemberontakan itu dari pihak PKI melihat gerakan Tan Malaka sebagai gerakan yang anti-Partai yang selalu menjadi sandungan dan selalu menjegal, selalu mengusahakan gagalnya putusan-putusan partai.

PKI melihat Tan Malaka sebagai anti-partai. Setiap partai mau mengadakan apa-apa, mesti reaksinya yang pertama dari Murba atau kelompok Tan Malaka ini. Kelompok ini adakalanya juga menggunakan teori-teori partai, teori-teori kiri dan ada kalanya juga mengerti dimana kunci-kuncinya karena Tan Malaka sendiri salah satu tokoh PKI juga. Secara jujur harus diakui bahwa Tan Malaka dan kawan-kawannya lebih produktif dalam membuat karya tulis tentang perjuangan revolusioner, walau dari jumlah keanggotaan organ mereka lebih sedikit dibandingkan dengan sayap kiri. Memang Tan Malaka adalah seorang eksponen pergerakan dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi dibanding pemimpin PKI lainnya seperti Semaun, Darsono, Alimin dan Musso.

Berikut ini adalah kesaksian Sumarsono terhadap Tan Malaka pada bukunya yang berjudul “Revolusi Agustus” & “Negara Madiun”:

Saya pernah berjumpa dengan Tan Malaka di Surabaya pada waktu terjadi pertempuran dibulan November 1945, dua belas hari saya tidur bersama Tan Malaka di pasar keling Surabaya. Isinya Tan Malaka itu menurut saya orangnya intelek juga karena dia belajar di negeri belanda dan meninggalkan tulisan-tulisan juga mengenai pergerakan, lebih daripada yang lain pada waktu itu. Tan Malaka asli berbicaranya dengan kalimat yang tersusun, matang dan hati-hati, tapi terus terang saja saya mengganggap Tan Malaka ini orang “sluw” (penuh tipu muslihat), ya tidak lurus jadi saya tidak percaya dengan dia, karena yang saya tangkap jika melihat Tan Malaka berbicara apa yang dibicarakan lain daripada yang dia inginkan. Na kalau Pak Musso orangnya jernih, true dan apa adanya. Jadi kesan saya kepada Pak Musso itu luar dalam dan beliau adalah orang nomor satu yang saya paling respek. Pak Musso orangnya juga correct, kaku, hafal buku-buku, jika dia menjelaskan tentang suatu teori maka dia langsung bicara seperti ini: “dag order Stalin halaman 60-sekian, bunyinya begini….”.Pak Musso luar dalam omongannya, tidak ada eik-nya (aku-nya) jadi hanya pengabdianlah yang ada.

Setelah itu saya bertemu lagi dengan Tan Malaka di Solo setelah ada kongres Persatuan Perjuangan (PP). Pada mulanya saya mengganggap Tan Malaka ini sebagai orang kiri, tapi kenapa dia bersatu dengan Masjumi, dengan yang anti kiri, anti komunis? Masjumi itu lahir pada jaman penjajahan jepang dan tidak bisa disanggah lagi bahwa Masjumi itu anti-kiri. Mengapa dia dengan Masjumi memusuhi PKI padahal Tan Malaka tau persis bahwa PKI adalah partai politik kiri.

Secara pribadi katakan-lah ada pertentangan antara Pak Musso dengan Tan Malaka tetapi dalam konsep “kemerdekaan yang seratus percent” mereka adalah sama. Tan Malaka saja pakai syarat kemerdekaan 100% tanpa di rundingkan. Belanda kalau mau mengakui, akui; kalau tidak mau mengakui, kami sita semuanya. Tetapi kalau mau mengakui akan kami pertimbangkan pakah nasionalisasi atau dikasih ganti rugi, tetapi soal kedaulatan itu tidak usah dirundingkan dengan Belanda. Akui dulu baru berunding !

Jadi boleh berunding dengan Belanda sesudah Belanda mengakui, jadi kita berunding dalam kedudukan yang sederajat. Dengan proklamasi 17 agustus 1945 Indonesia sudah menyatakan merdeka jadi tidak ada lagi yang perlu di rundingkan. Demikian pendapat Pak Musso didepan Alimin, Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dkk. Dan berikutnya saya bertanya tentang sosok Tan Malaka kepada Pak Musso:

“O, sudah! Jangan bicara mengenai dia. Dia itu sudah penghianat, dia ini renegat. “Jadi dia ini kegiatannya adalah menjegal Partai, menghianati Partai. Dia sudah spion. Tapi orang-orang yang mengikuti Tan Malaka, melihat seolah-olang Tan Malaka juga komunis. Tentang ini lihat saja program Persatuan Perjuangan. Program itu adalah program yang benar. Tapi itu mencuri. Itu sebenarnya program Partai Komunis. Tetapi Partai Komunis sendiri malah tidak mempunyai program yang sebaik itu karena masih kurang pengertian, kurang teori dan mempunyai banyak kesalahan.

Program yang benar malah dicuri Tan Malaka! Umpamanya berunding dengan pihak musuh tapi berdasarkan kedaulatan 100%, sita milik-milik asing yang memusuhi RI dan nasionalisasi perusahaan itu semua adalah program komunis. Kenapa PKI tidak memakai itu PKI yang salah PKI yang kurang tahu”.

Berikut ini adalah kesalahan-kesalahan kaum Marxis Indonesia sejak pecahnya Revolusi Agustus 1945-1948:

Kesalahan Organisasi:

1. Kaum Marxis tidak menonjol dan berperan sebagai satu-satunya kaum yang mewakili kelas buruh.

2. Kaum Marxis tidak menjadi pimpinan tertinggi perjuangan kelas buruh dan kelas pekerja lainnya sehingga tidak dapat memimpin perjuangan revolusi rakyat Indonesia.

3. Kaum Marxis tidak menempatkan secara jelas ia mendirikan organisasi massa atau organisasi kader.

4. Kaum Marxis tidak menggalang front persatuan nasional yang berbasis kaum buruh dan tani untuk melawan feodalisme dan kolonialisme.

5. Kaum Marxis kurang memperhatikan pengorganisasian kaum tani sebagai kekuatan pokok revolusi Indonesia yang bersifat agraris.

6. Kaum Marxis menyerahkan kekuatan bersenjata dibawah control dan komando tentara borjuasi, yaitu dengan meleburkan diri kedalam TNI Masyarakat.

Kesalahan Politik:

1. Kaum Marxis tidak gigih merebut kepemimpinan revolusi Indonesia dari tangan kaum borjuis bahkan menyerahkan senjata yang sudah dipanggulnya kepada tentara borjuis.

2. Kaum Marxis tidak menghancurkan aparat lama kolonial untuk diganti dengan aparat baru kekuatan revolusi.

3. Kaum Marxis tidak mempunyai program revolusi untuk kaum tani sehingga kekuatan pokok Revolusi Indonesia yang bersifat agraris; mereka kekiri-kirian ingin membangun sosialisme tanpa melalui demokrasi rakyat; mereka tidak mampu memobilisasi petani.

4. Kaum Marxis tidak tegas menghancurkan feodalisme untuk menguntungkan kaum tani tidak bertanah.

5. Kaum Marxis tidak tegas menolak perjanjian Linggarjati & Renville produk kolonialisme.

Pada tahun 1948, Mohamad Hatta dilantik oleh Sukarno untuk menjadi Perdana Menteri, program utamanya dia adalah menjalankan hasil perundingan Renville yaitu mengosongkan wilayah-wilayah kantung tentara di jawa barat dan menarik garis demarkasi wilayah republik hingga tinggal meliputi Jawa Tengah & Jawa Timur serta melakukan program Reorganisasi-Rasionalisiasi (RE-RA) yaitu menjadikan tentara republik Indonesia yang pada waktu itu berjumlahnya sekitar 400 ribuan menjadi 70 ribu tentara professional, usulan ini diajukan oleh Panglima Divisi Siliwangi Kolonel AH Nasution seorang perwira bekas KNIL.

Ketika Hatta mulai menjalankan program pemerintahannya dilapangan mulai terjadi gesekan antara pasukan Siliwangi (hijrah dari jawa barat), Hizbullah dari Masjumi, Barisan Banteng (GRR – Pengikut Tan Malaka) dengan FDR pimpinan Musso yang berujung pada peristiwa madiun, pada saat itu banyak kader-kader penting PKI tewas karena pertempuran ataupun tewas karena di hukum mati setelah ditangkap.

Ada beberapa hal yang menyebabkan kekalahan pada peristiwa madiun itu:

1. Kaum Marxis tidak bersekutu dan berintegrasi dengan kaum tani, ini merupakan konsekwensi dari program kaum Marxis yang tidak berorientasi kepada tani bersenjata untuk membebaskan dari penindasan dan penghisapan feodalisme.

2. Sokongan rakyat kepada FDR jauh sangat berkurang. Di daerah madiun sokongan ada, malahan besar di beberapa tempat, akan tetapi diluar madiun dan beberapa tempat lainnya sokongan terhadap FDR kecil sekali malahan beberapa kali rakyat desa disiapkan untuk menangkap barisan long march.

3. Gagalnya rencana fusi pada waktu yang telah ditetapkan, karena baru saja partai melakukan fusi dan para petinggi partai sedang melakukan kampanye keliling untuk menerangkan kepada rakyat bagaimana program PKI dan konsolidasi organisasi di daerah-daerah, sudah keburu meletus peristiwa solo yang berujung pada peristiwa madiun.

4. Tidak digantinya orang-orang dalam pimpinan yang telah menjalankan politik salah. Dengan begitu menyediakan bahan agitasi untuk mencurigai dan memukul partai.

5. Organisasi, pimpinan, keyakinan dan ideology didalam barisan Tentara Rakyat sangat kurang.

6. Excessen yang terjadi sangat menjauhkan kami dari simpati rakyat.

7. Overdracht yang kami hadapi dan sebagainya.

Kekalahan kaum Marxis itu membawa kaum kolonial Belanda dapat memaksakan kehendaknya dalam perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) sehingga revolusi Indonesia gagal mencapai tujuannya yaitu membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan, penghisapan feodalisme & kolonialisme.

Kritik terhadap Tan Malaka & Musso

Tan Malaka menganjurkan dasar massa aksi yang teratur. Massa disini perlu ditolong dengan kekuatan massa itu sendiri. Dalam massa aksi yang teratur, massa harus bergerak dan di gerakkan. Untuk itu dipandang sangat perlu adanya suatu front perlawanan secara massal, adanya persatuan perjuangan.

Dalam usaha pembentukan front ini Tan Malaka meninggalkan pengalaman yang berguna, bahwa persatuan itu harus beserta kesatuan sebagai pelopor. Bila Musso dan kawan-kawannya terlalu menonjolkan kesatuan dan terlalu mengentengkan peranan persatuan dengan tindakan-tindakannya yang melecehkan pertumbuhan yang sehat diluar kesatuannya, maka Tan Malaka sangat cinta kepada persatuan tetapi kurang menyediakan waktu untuk menggalang kesatuan yang berakibat menelantarkan kesatuan.

Massa aksi yang teratur jelasnya disamping front perlawanan yang merupakan persatuan perjuangan secara massal itu benar-benar membutuhkan partai kesatuan sebagai partai pimpinan, sebagai jumlah dan pemusatan fraksi-fraksi revolusioner daripada aktifis-aktifis massa yang sepaham & sehaluan.

Kawan Mao Tse Tung pernah berujar tentang kesatuan & persatuan itu:

"Bukan kesatuan atas dasar kapitalulasi melainkan kesatuan atas dasar perang perlawanan, bukan kesatuan atas dasar kemunduran melainkan kesatuan atas dasar kemajuan. Hanya kesatuan yang tersebut belakangan itulah yang merupakan kesatuan sejati" (Tentang Pemerintahan Koalisi, 23 April 1945)

"Dalam masa front persatuan anti-Jepang, perjuangan adalah cara untuk mencapai persatuan dan persatuan adalah tujuan perjuangan. Persatuan akan hidup jika dicapai dengan jalan perjuangan" (Masalah Taktik dalam Front Persatuan Anti-Jepang Dewasa Ini, 11 maret 1940)

Kaum Sosialis Kanan (SOSKA)

Cirinya Intelektualistis. Mereka bekerja dikalangan orang-orang intelektualis. Partai Sosialis Indonesia, PSI, kalah dalam pemilihan umum tahun 1955 dan dinyatakan sejak itu sebagai partai gurem. Mereka maunya bekerja di kalangan intelektual saja. Ketika PRRI-Permesta, Aidit pernah mengemukakan, “karena kalah dalam Pemilihan Umum PSI kehilangan akal, lalu bersama Masjumi menggunakan perwira-perwira di dalam Angkatan Darat untuk berontak”.

Begitu berontak, PRRI mereka tidak mengakui Pemerintahan Pusat, saya tegaskan, mereka yang terlibat peristiwa Madiun tidak pernah menyatakan tidak mengakui Pemerintahan Pusat. Daerah-daerah yang waktu itu melakukan tindakan makar adalah Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, mereka mendirikan Dewan Banteng, Dewan Garuda & Permesta, demikian ujar Soemarsono.

Pada waktu meletusnya revolusi nasional tahun 1945 Sjahrir mengakui bahwa itu adalah revolusi Indonesia, yaitu revolusi yang menghadapi musuh dari luar, tetapi Sjahrir tidak pernah menyatakan bahwa kolonialisme Belanda adalah musuh yang utamanya. Sjahrir justru menjadikan dunia kapitalis sebagai kekuatan yang tidak dimusuhi.

Mengenai nasionalisme Sjahrir menyatakan bahwa:

“Gairah kebangsaan, yang asal mulanya dapat menjadi sumber tenaga bagi gerakan itu, akan membawa ke jalan buntu dan akhirnya akan hancur dalam mabukan yang membinasakan diri sendiri. Kekuatan kita haruslah berasal dari pembianaan perasaaan-perasaan keadilan & peri kemanusiaan. Hanyalah satu nasionalisme yang didukung oleh perasaan keadilan dan peri kemanusiaan ini, dapat membawa kita maju dalam sejarah dunia”.

“Sebab, akhirnya mestilah semua bangsa menemukan tujuan terakhirnya didalam suatu umat manusia yang hidup dalam hubungan yang berdasarkan keadilan & hukum, yang tidak lagi dibatasi oleh perasaan-perasaan picik, yang membagi umat manusia menurut perbedaan warna kulit & asal-usul.

Adalah jelas nasionalisme Sjahrir adalah terlepas dari pandangan kelas. Sjahrir menginginkan “keadilan” dan “kemanusiaan” yang terlepas dari analisa kelas. Sjarir membayangkan bahwa pada akhirnya diseluruh dunia akan terdapat satu kehidupan dari satu kemanusiaan yang berdasarkan keadilan.

Justru keadilan dan kemanusiaan tanpa analisa kelas inilah yang menyelubungi penghisapan manusia oleh manusia. Keadilan & kemanusiaan itu selalu berwatak kelas. Yang adil bagi borjuasi adalah tidak adil bagi kelas yang terhisap. Yang adil bagi tuan tanah adalah tidak adil bagi tani hamba atau tani tak bertanah. Demikian juga yang adil bagi kolonialisme Belanda adalah tidak adil bagi nasion Indonesia. Bagi rakyat dan nasion Indonesia menggulingkan kolonialisme Belanda adalah adil. Sedangkan bagi kolonialisme Belanda itu adalah tidak adil. Berbicara tentang keadilan & kemanusiaan tanpa menggunakan analisa kelas pada hakikatnya adalah melindungi ketidak-adilan , adalah melindungi penghisapan manusia oleh manusia.

Penyelesaian revolusi nasional dengan cara yang diajukan oleh Sjahrir ini sudah pasti tidak akan mencapai tujuannya, yaitu tidak akan mencapai penghapusan kolonialisme & neo-kolonialisme serta tidak akan melahirkan kekuasaan rakyat. Praktek menunjukkan bahwa kaum kolonial & neo-kolonial tidak akan tidak pernah dengan sukarela membebaskan negeri jajahannya. Pembebasan nasional suatu bangsa selalu terjadi sebagai hasil perjuangan dari bangsa itu melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme.

Seluruh pandangan Sjahrir ini bersumber pada idealism historis, yaitu tidak meninjau masyarakat & perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda dari segi Perjuangan Kelas. Sjahrir tidak menilai perjuangan rakyat Indonesia ini sebagai manifestasi dari tajamnya perjuangan kelas di Indonesia. Kekuasaan Belanda tidak dilihatnya sebagai kekuasaan politik dari suatu kelas, yang menurut hokum sejarah tidak pernah dilepaskan dengan cara sukarela. Nasionalisme yang muncul di Indonesia tidak dinilai oleh Sjarir sebagai suatu kenyataan sejarah yang lahir sesuai dengan hukum objektif perkembangan sejarah, yaitu lahir seiring dengan terbentuk dan terkonsolidasinya nasion Indonesia.

Nasionalisme di Indonesia justru mempunyai arti positif dalam satu tahap revolusi melawan kekuasaan colonial Belanda, dan nasionalisme ini bukan lah ekstrimisme, serta nasionalisme ini bukan lah lahir dari rasa rendah diri dari bangsa Indonesia, tetapi adalah hasil dari perkembangan objektif perjuangan kelas, yaitu hasil objektif dari lahir dan terkonsolidasinya nasion Indonesia, dari lahir dan berkembangnya Borjuasi nasional & kelas pekerja di Indonesia, yang bercita-citakan kemerdekaan nasional. Dan satu-satunya jalan untuk memenangkan kemerdekaan nasional dalam revolusi Agutus 1945 adalah dengan konsekuen melawan kolonialisme Belanda, menjadikan kolonialisme Belanda sebagai musuh pokok pada waktu itu.

Idealisme historis, atau lebih kongkret lagi pandangan anti-perjuangan kelas, bukanlah hanya di miliki oleh Sjahrir, tetapi pandangan ini berakar mendalam di tengah-tengah kaum sosialis-kanan (SOSKA) di Indonesia, di masa lampau dan juga saat sekarang ini.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai sejarah tiga aliran utama kelompok sosialis di Indonesia ini, jika masih ada kekurangan disana-sini penulis mengucapkan permohonan maaf karena tulisan ini dibuat secara tergesa-gesa atas permintaan seorang kawan dan penulis juga dengan rendah hati selalu menerima masukan dari semua kawan-kawan seperjuangan yang sampai hari ini masih terus setia di jalan rakyat. Terima kasih

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Apabila kau melihat seorang “Gembel” serta terlihat kelaparan, dan kemudian kau memberinya makan dan pakaian, maka mereka akan memanggilmu sebagai seorang Nabi…Dan apabila kau melihat hal yang sama, serta bertanya “Mengapa anda bisa kelaparan dan compang-camping ?”

maka merekapun akan memanggilmu seorang Komunis.,,

Daftar Pustaka:

1. Soemarsono:
Revolusi Agustus, Kesaksian seorang pelaku sejarah, Hasta Mitra - November 2008.
Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, Fuspad - September 2002.

2. H. Achmadi Moestahal, Dari Gontor ke Pulau Buru, Syarikat - April 2002.

3. Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis, Syarikat - Febuary 2001.

4. Pemberontakan November 1926, lembaga Sejarah PKI, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1961.

5. Ibnu Parna, Pengantar Oposisi Rakyat, Comite Pusat Partai Acoma (Angkatan Communis Indonesia), Malang - September 1954.

6. Roestam Effendi, Sedikit Penjelasan Tentang Soal-soal Trotskysme, Patriot - Madiun, April 1947.

7. 40 Tahun PKI, Lembaga Sejarah PKI, Depagitprop CC PKI, Djakarta, 23 Mei 1960.

8. Suar Suroso, Marxisme sebuah kajian - dinyatakan punah ternyata kiprah, Hasta Mitra - Febuary 2009.

9. Kritik Terhadap Kaum Marxis Indonesia - Suatu Pengantar Untuk Mengetahui Dan Memahami Kesalahan-kesalahan Kaum Marxis Indonesia Dalam Perjuangan Politik di Indonesia, Jakarta, 19 Juli 2003.

10. Kumpulan Karya Mao Tse Tung jilid II & III, Pustaka Bahasa Asing Peking - 1967.


1 komentar:

Blog Watcher mengatakan...

DERITA KAUM BURUH



Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.

**********

Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.

THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.

Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).

Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.

Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.

“kesejahteraan kaum buruh Indonesia hanyalah impian kosong belaka”