Rabu, 19 Agustus 2009

JALAN PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN

Oleh: AS DARTHA

I. Perkembangan kesusastraan adalah sejarah pertarungan dua kekuasaan yang bertentangan kepentingannya dilapangan kesusastraan, antara kekuatan yang mempertahankan kekolotan dan kekuatan yang mengusahakan kemajuan.

II. Kurangnya ahli (penyelidik) sejarah bangsa sendiri menyebabkan kita untuk sementara bergantung dan menerima hasil-hasil penyelidikan sejarah dari ahli-ahli bangsa Belanda, sampai datangnya saat para ahli-ahli sejarah kita mengadakan koreksi umum atas ilmu sejarah bangsa berdasarkan prinsip kepentingan nasional.

III. Sejalan dengan politik kolonial Belanda,

para ahli sejarah bangsa Belanda didalam lapangan kesusastraan hanya mengemukakan adanya kesusastraan golongan feudal saja. Padahal adalah suatu kepastian bahwa juga diluar kesusastraan-keraton atau kerajaan mesti ada kesusastraan rakyat.

Sebagai contoh dapat dikemukakan sarkasme dari rakyat terhadap raja-raja dalam dongengan rakyat Pasundan, tentang seorang raja yang menghentikan setiap orang yang lalu dan mengambil makanan apa saja yang dibawa oleh rakyat, sehingga timbul kritik humor: “Raja segala beuki”, yaitu raja mau makan apa saja.

IV. Kebudayaan setiap zaman adalah kebudayaannya golongan yang berkuasa. Juga hal ini berlaku bagi kesusastraan. Dengan itu dapat pula dinyatakan, bahwa dari dulu Indonesia belum pernah mempunyai kesusastraan nasional.

V. Berkuasanya kolonisator Belanda tidaklah berarti habisnya riwayat dan kesusastraan feudal. Kolonialisme Belanda terus mempergunakan kekuasaan dan kesusastraan feudal, dengan perbedaan kalau dizaman feudal kekuasaan secara langsung diperhambakan kepada raja-raja, maka dizaman kolonial kesusastraan secara tidak langsung dipergunakan untuk mempertahankan system penjajahan Belanda.

VI. Dengan tidak dikehendaki oleh penjajahan Belanda sendiri, penjajahan mendorong kemajuan berpikir bangsa Indonesia, al. mempertebal semangat nasional. Dilapangan perjuangan kemerdekaan dia mendorong perkembangan pergerakan nasional dalam wujud sumpah Indonesia muda: “Satu bangsa, Satu bahasa, Satu tanah air”, yang besar sekali pengaruhnya kepada perkembangan kesesusastraan.

VII. Pergerakan kebangsaan inilah yang menjadi stimulant tumbuhnya bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Didalam kesusastraan demikian derasnya arus kemajuan ini, yaitu arus perjuangan nasional lawan paham kolot kolonialisme, sehingga dia melahirkan golongan kesusastraan Pujangga Baru.

VIII. Membicarakan kesusastraan golongan Pujangga Baru adalah membicarakan detik sejarah yang penting dari perkembangan kesusastraan. Bukan saja dengan Pujangga Baru mulai adanya kesusastraan bahasa Indonesia yang bukan bahasa Melayu lagi, tetapi juga dengan Pujangga Baru timbul cita-cita pembaharuan kebudayaan Indonesia.

IX. Idealism Pujangga Baru bersumber pada idealism Eropa-Barat. Hal ini menyebabkan Pujangga Baru sebagai layaknya sifat golongan idealis dalam merindukan kemerdekaan tidak memperhatikan kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya dari bagian terbesar bangsanya yang menderita penindasan kolonialisme dan feodalisme.

Paling banter dia hanya membikin perhitungan terhadap tradisi adat kuno (“Layar Terkembang” Sutan Takdir Alisjahbana). Perkecualian dapat dikemukakan sajak-sajak dan buku “Dibelakang Kawat Berduri” Asmara Hadi, sajak-sajak tentang nasib buruh perkebunan Aoh Kartamiharja, dan lakon sandiwara “Manusia Baru” Sanusi Pane, yang langsung mengupas dan mengolah masalah zamannya, masalah masyarakatnya, disamping menyelami lautan filsafat. (Misal beberapa sajak dalam “Madah Kelana” Sanusi Pane).

Asmara Hadi, Sanusi Pane, Aoh Kartamiharja dan beberapa sastrawan lainnya merupakan perkecualian, oleh karena cara-cara hidup mereka itu langsung bersentuhan dengan nasib bangsanya. Asmara Hadi dan Sanusi Pane adalah pelopor-pelopor Gerindo dan Aoh Kartamiharja pada ketika itu menjadi buruh disalah satu onderneming di Priangan.

X. Kesusastraan di zaman penjajahan Jepang adalah kesusastraan dibawah tekanan Fasisme, suatu system penindasan yang total. Perlahan-lahan tapi pasti penindasan total akan melahirkan perlawanan total. System “Kulturkammer” Pusat kebudayaan dan system sensor Jepang tidak kuasa menentang proses kesusastraan. Usmar Ismail sempat mengumandangkan rindu-dendam cinta tanah airnya dalam sajak “Merah Putih”, Rosihan Anwar menggetarkan semangat patriotic dalam sajaknya “Naik Bendera”, Karim Halim menyuarakan keperwiraan dalam sajaknya “Pohon Tanah Air”, Chairil Anwar memberontak terhadap maksud Jepang untuk melikwidasi kepribadian manusia dalam sajaknya “Aku Ini Binatang Jalang”. Disamping sajak-sajak juga sempat lahir cerita-cerita pendek dan lakon-lakon sandiwara yang secara halus membayangkan api perlawanan terhadap fasisme Jepang, misal “Citra” Usmar Ismail.

XI. Zaman fasis Jepang adalah zaman yang sesempit-sempitnya. Karena itu kesusastraan memerlukan baentuk baru, bentuk yang sepadat-padatnya. Ucapan yang sependek-pendeknya mesti merangkum isi yang sedalam-dalamnya. Dalam hal ini dalam usaha memberi bentuk baru, yang lain dari bentuk kesusastraan Pujangga Baru, Chairil Anwar dan kawan-kawan dalam hal ini memberikan sumbangan yang berharga.

Disamping soal yang terpenting ialah bahwa dizaman Jepanglah kesusastraan bersatu dengan nasib bangsanya. Dizaman Jepanglah bukti yang senyata-nyatanya, bahwa kesusastraan tidak hilang keindahan seninya dan tidak turun nilainya karena ia mengupas soal-soal masyarakat, karena ia bertendens!

Bahkan sebaliknya kita lihat. Kesusastraan yang menjadi senjata kemajuan melawan kekolotan, kesusastraan yang menjadi senjata kemajuan melawan kekolotan, kesusastraan yang menjadi senjata manusia untuk pembebasan manusia dari segala macam penindasan adalah kesusastraan yang tertinggi nilainya.

XII. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah laksana bendungan yang terbuka bagi kesusastraan patriotik yang menempuh latihan dan persiapan dizaman fasis Jepang. Serentak kesusastraan aktif mengobarkan kepahlawanan rakyat. Bahu-membahu dengan seniman-seniman lainnya, golongan sastrawan memberikan sumbangan sejarahnya dalam perjuangan kemerdekaan. Majalah-majalah “Arena” (Usmar Ismail cs) di Garut, “Bakti” (Wiwiek Hidayati cs) di Mojokerto, “Sastrawan” (Inu Kertapati cs) di Malang, “Seniman” (Trisno Sumardjo cs) di Solo, dll, membanjirkan hasil-hasil kesusastraan perjuangan. Cita-cita merdeka, bebas dari penjajahan, menjadi teras baja yang mengikat seluruh sastrawan patriotik.

XIII. Setiap hasil kesusastraan baik dia berbentuk puisi atau prosa, adalah pencerminan pandangan hidup penciptanya. Tidak mungkin ada hasil kesusastraan yang tidak berisikan pandangan hidup.

Dan pandangan hidup dewasa ini sangat dipengaruhi oleh dua kekuasaan didalam dua wujud system ekonomi yaitu system ekonomi imperialis yang dipelopori oleh Amerika dan system ekonomi sosialis yang dipelopori Sovyet Uni.

Soalnya kesusastraan Indonesia sekarang ini bukan untuk menjadi ekor dari system manapun, tetapi mengambil sikap sovereign, memilih dan memiliki pandangan hidup yang menjadi cita-cita nasionalnya. Mempertahankan cita-cita nasional dalam kesusastraan, dan kesenian serta kebudayaan pada umumnya, berarti mempertahankan karakter nasionalnya dan memelihara perkembangan yang bebas, dengan tidak menolak kebudayaan kuno dan kebudayaan asing, tetapi menerimanya dengan kritis.

Untuk itu diperlukan kejujuran dan keberanian menembus purbasangka dan tembok-tembok kepicikan.

Untuk itu kesusastraan Indonesia sekarang harus tunggal dengan kebutuhan Indonesia sekarang.

XIV. Kebutuhan manusia Indonesia sebagai bangsa dan sebagai individu sekarang ini jelas bukan meletusnya perang dunia ketiga dan suasana kekacauan terus-menerus, tetapi pembangunan dari negaranya dan pembangunan dari jiwa bangsanya.

Dan pembangunan itu dapat disimpulkan dalam kata-kata yang menjadi syarat mutlak bagi pelaksanaannya, ialah: kemerdekaan sejati, demokrasi dan perdamaian yang kekal.

Kesusastraan wajib memijakkan kakinya, diatas dunia yang nyata dan memancangkan mata ke hari esok, bukan dengan romantik kuno, tetapi dengan romantic yang hidup, maju dan aktif.

Melihat faktor-faktor yang ada, terutama factor-faktor yang terdapat pada sastrawan generasi baru, dari sekarang sudah dapat dikatakan, bahwa kesusastraan Indonesia menghadapi masa gemilang


JAKARTA, 29 SEPTEMBER 1951

Daftar Pustaka

> Lembar Kebudayaan Rakyat, 1951


Tidak ada komentar: