Sabtu, 06 September 2008

Liberalisasi Pendidikan dan WTO

Oleh: Dani Setiawan*

Setelah melalui berbagai forum negosiasi yang cukup panjang, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kembali bersidang. Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-IV WTO dilangsungkan pada bulan Desember ini di Hongkong. Sejak kegagalan pertemuan WTO di Cancun pada tahun 2003, Negara-negara maju bersikeras agar KTM Hongkong menghasilkan agenda yang kongkrit bagi negosiasi perdagangan bebas antar Negara. Penegasan serupa juga disampaikan oleh 21 pemimpin ekonomi di KTT APEC (forum kerjasama ekonomi Asia Pasifik) yang berkumpul di Nirimaru APEC House di Busan. Forum tersebut mengeluarkan deklarasi yang menyatakan
keinginannya akan perdagangan dunia lebih bebas dan keamanan manusia demi tercapainya wilayah Asia Pasifik yang aman dan lebih transparan. Deklarasi ini jelas merupakan tekanan dari Negara-negara maju agar pertemuan WTO bulan Desember dapat menuntaskan proses negosiasi dalam Agenda Pembangunan Doha (DDA) demi tercapainya liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas di bawah kerangka WTO

Setidaknya ada tiga isu “kritis” yang akan dirundingkan pada KTM WTO Ke-IV kali ini. Yang pertama adalah AoA (Agreement of Agriculture), yaitu perjanjian dalam bidang pertanian. Kedua adalah NAMA (Non Agricultural Market Acsess), berupa perjanjian perdagangan di luar produk pertanian. Dan yang ketiga adalah GATS (General Agreement on Tarrifs and Services). Jika melihat pada pertemuan tahun 2003 lalu, perjanjian dalam bidang pertanian dan jasa merupakan “wilayah konflik” berkepanjangan antara Negara maju dan berkembang. Pada perjanjian pertanian misalnya, Negara berkembang tetap ngotot menuntut penghapusan subsidi
pertanian oleh Negara maju. Di sisi lain, tuntutan pembukaan pasar di Negara berkembang bagi produk-produk pertanian tetap menjadi agenda Negara maju dalam perundingan tersebut.

Pendidikan dalam GATS

Dalam negosiasi perundingan GATS, penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasa lainnya.
Sejak tahun 2000, negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial request. Dimana setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral.

Logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana diutarakan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication ervices). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kgiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan.

Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan.
Keputusan yang dinilai agak terburu-buru. Mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih buruk. Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, sejalan dengan logika ekonomik ala WTO, pendidikan hanya akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh negara.

Kepentingan ekonomi Negara-negara maju disinyalir berada di balik agenda liberalisasi pendidikan. Paling tidak ada tiga Negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor
jasa pendidikan melalui WTO.

Melihat data-data tersebut, menjadi mudah dimengerti bahwa perdagangan jasa pendidikan sebenarnya digerakan oleh motivasi mengejar keuntungan ekonomi semata oleh Negara-negara maju. Aspek universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial dan proses penggalian kebenaran akan digantikan dengan hitungan untung rugi dalam logika bisnis.

Di sisi lain, pendekatan hak atas pendidikan dapat dijadikan landasan penolakan terhadap liberalisasi pendidikan di Indonesia. Amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan, pemerintah Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak atas pendidikan, sebagaimana termuat dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas menegaskan kewajiban Negara untuk membiayainya. Jika kehendak untuk meliberalisasi pendidikan dimaksudkan untuk memperkecil peran negara, atau bahkan menghilangkannya sama sekali maka pemerintahan SBY-JK sesungguhnya telah melakukan pelanggaran konstitusional secara serius.

Beban Utang

Alasan pemerintah dalam meliberalisasi sector jasa pendidikan terkait dengan upaya memperbaiki kwalitas pelayanan pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermutu. Sistem pendidikan di Indonesia yang dinilai masih buruk terutama disebabkan kerana minimnya komitmen pemerintah (Negara) dalam hal pendidikan.


Komitmen pemenuhan anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN hanya menjadi “aksen politik” tanpa bukti.

Kendala terbesar dalam pemenuhan anggaran pendidikan adalah beban pembayaran utang yang sangat besar. Pembayaran cicilan bunga dan pokok dalam APBN 2006 mencapai Rp. 140 Trilyun. Angka tersebut lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat lainnya. Anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 8,1 persen dari target 12 persen yang sebelumnya disepakati Komisi X DPR bidang Pendidikan dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan persentase tersebut, Depdiknas hanya memperoleh dana sekitar Rp 36 triliun dari Rp 48 trilyun yang
dibutuhkan. Fakta tersebut sungguh jauh dari realisasi kewajiban pemenuhan anggaran sebesar 20 % dalam APBN.

Trend menghabiskan anggaran Negara untuk pembayaran utang sudah menjadi tradisi rezim yang berkuasa sejak lama. Dalam kerangka kebijakan ekonomi neoliberal ala IMF, pengurangan subsidi oleh Negara merupakan cara agar pembayaran utang tetap berkelanjutan. Perilaku seperti ini kurang lebih memberikan pesan bahwa betapapun kesulitan yang dihadapi rakyat, bukanlah urusan para kreditor, karena mandat mereka yang utama hanyalah menagih utang dan membuka pasar bagi industri Negara-negara maju. Nampaknya dalam kerangka ini, rencana “berdagang” pendidikan dalam kerangka WTO jelas ingin memindahkan tanggung
jawab Negara dalam pendidikan kepada korporasi dan hukum pasar neoliberal.
Melihat persoalan ini agaknya rakyat harus mengingatkan kepada pemerintah bahwa pendidikan bukanlah barang dagangan, apalagi “dijual” dan diserahkan kepada bangsa
lain untuk mengelolanya. Education is not For Sale.

*Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU), anggota Aliansi Advokasi Pendidikan
Nasional Selengkapnya...